Oleh: Cahyaningtias Purwa Andari*
Pemberitaan tentang kejahatan seksual semakin menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas akibat dari opini-opini bermunculan, baik dari kalangan cendekia ataupun sipil. Terutama pembahasan terkait hukuman yang dianggap paling pantas dijatuhkan pada pelaku kejahatan seksual, terutama pedofilia. Pedofila adalah tindakan kejahatan seksual yang dilakukan kepada anak dibawah umur oleh orang dewasa.
Sebagai gambaran kejadian guru yang melecehkan para anak didiknya yang notabene merupakan anak yang usianya masih sangat belia. Bahkan anak dibawah umur masih sangat minim mendapatkan sex education yang dapat membuat mereka sendiri pun masih kurang memahami apa yang sudah dilakukan kepadanya. Tidak ada yang membenarkan tindakan semacam ini yang merusak mental anak-anak dengan perjalanan hidupnya yang masih sangat panjang untuk lebih memahami kehidupan.
Mungkin sedikit aneh bagi kita mengapa semakin majunya era globalisasi justru semakin tinggi angka pedofilia. Segelintir persepsi menyatakan bahwa globalisasi membawa pengaruh buruk bagi kejahatan seksual menjadi semakin merajalela karena mudahnya berbagai akses. Hal tersebut tidak salah, tapi tidak demikian sepenuhnya dikatakan benar. Globalisasi juga membawa banyak dukungan bagi korban kejahatan seksual untuk semakin speak up dan keluar dari ketakutannya untuk menyatakan bahwa dirinya sebagai korban.
Kembali pada permasalahan yang sedang ramai dibicarakan, yakni adanya tuntutan bagi kejahatan seksual untuk dihukum kebiri-mati. Wacana semacam ini tidak semulus itu, karena polemik sudah pastilah muncul dari berbagai persoalan. Kita bahkan sulit untuk membenarkan dan menyalahkan berbagai opini dan persepsi yang kemudian muncul. Tuntutan kebiri-mati ditujukan seolah memberikan jaminan keamanan bagi kemungkinan adanya pelaku dan korbannya. Namun hak asasi manusia juga berbicara dalam hal ini, yang dianggap merampas hak hidup dari seseorang.
Hukum Positif Mengenai Hukuman Mati di Indonesia
Hukuman mati menurut Hamzah & Sumangekuou (2005) merupakan suatu social defence yaitu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi memimpa masyarakat, mengakibatkan kesengsaraan dan menganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia bermasyarakat dan beragama/bernegara.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hukuman mati dapat diterapkan sebagai bentuk preventif akan adanya bahaya besar yang mengancam dan menganggu keberlangsungan hidup masyarakat secara lebih luas, apabila seseorang dibiarkan untuk tetap hidup. Dengan kata lain, mengorbankan satu nyawa masih lebih baik daripada mengorbankan ketertiban hidup masyarakat.
Lebih lanjut, regulasi dalam KUHP mengatur tentang pidana mati dalam Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (4), Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, Pasal 124, Pasal 127, Pasal 129, dan Pasal 368 ayat (2).
Perspektif Pro Kontra Hukuman Mati
Keberadaan hukuman mati masih menjadi pro kontra mengingat adanya Hak Asasi Manusia yang tersemat dalam diri setiap orang. Bahkan beberapa negara mulai menghapus aturan pidana ini, namun kebijakan pidana mati masih diterapkan di Indonesia.
Opini yang pro terhadap hukuman mati menyatakan bahwa hal tersebut secara permanen mampu melenyapkan penjahat-penjahat yang paling buruk dari masyarakat beradab. Kemudian hukuman mati mengandung efek retributif yang dapat memuaskan rasa keadilan korban kejahatan dan keluarganya. Hukuman mati juga memiliki dampak preventif bagi masyarakat yang lain. Serta hukuman mati tidak dilarang oleh norma-norma agama utama (Siswanto: 2009).
Kemudian dari sisi yang kontra mengatakan bahwa hukuman mati mengasumsikan bahwa manusia tidak dapat berubah, tidak dapat dikoreksi khususnya dalam hal hukuman mati ternyata dikenakan terhadap orang yang secara keliru harus menjadi terpidana sebagai akibat tidak sempurnanya sistem peradilan pidana atau dengan kata lain berpeluang dikenakan pada seseorang yang sebenarnya tidak melakukan kejahatan yang didakwakan (Siswanto: 2009)
Polemik Hukuman Mati Bagi Pelaku Pedofilia
Keresahan publik yang menjadi lebih dominan dalam mengkritisi kepantasan hukuman yang harus diterima pelaku pedofil menjadi menarik untuk dikemas, bahwa hukuman mati menjadi salah satu alternatif menghentikan potensi adanya korban-korban lain. Hal tersebut mungkin bertentangan dengan fakta bahwa sebelumnya hukuman mati secara historis diterapkan pada pelanggaran seperti pengkhianatan, sumpah palsu yang mengakibatkan kematian dan pembajakan pesawat (Snell: 2005).
Namun pembuat kebijakan di era 1990an menganggap bahwa publik mendukung perpanjangan hukuman mati untuk kejahatan seksual (Sample & Kneck, 2008). Polling pernah dilakukan oleh a Time/CNN National Poll pada tahun 1997 yang menunjukkan hasil bahwa 74% mendukung hukuman mati bagi pembunuh, 47% untuk pemerkosa, dan 65% untuk pelaku pedofilia. Kemudian polling lain dilakukan oleh Quinnipiac University tahun 2008 yang menunjukkan bahwa 63% publik mendukung hukuman mati untuk pembunuh dan 55% lain untuk pelaku pedofilia. (Mancini & Mears, 2019).
Polling tersebut dapat menujukkan bahwa publik memliki angka yang cukup tinggi mengenai tingkat dukungannya hukuman mati bagi pelaku pedofilia. Lebih lanjut Mears dkk (2008) menyatakan bahwa hasil polling tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap kejahatan seksual pada anak-anak daripada dewasa untuk menerima hukuman mati, perbedaan tersebut mungkin didasari dari pandangan bahwa anak-anak lebih rentan dan layak untuk mendapatkan perlindungan secara lebih khusus.
Tidak terkecuali pada kasus pedofilia di Indonesia yang mendapat dukungan publik untuk dihukum kebiri mati sebagai timbal balik atas kerusakan fisik dan mental yang dilakukan pada generasi penerus bangsa. Meskipun hak asasi manusia memiliki belas kasih menjadi pertimbangan untuk menangguhkan keberatan atas hal ini, namun kekuatan dukungan publik juga menjadi pertimbangan yang tidak kalah layak.
Polemik tidak akan pernah menemui titik terang dengan adanya berbagai opini dan persepsi yang berbeda-beda dari setiap kalangan. Kebijakan datang sendiri dari bagaimana hakim memutuskan kelayakan dari pembuktian suatu kasus dan dampak yang ditimbulkan dari perilaku pedofilia terhadap para korban.
*Penulis adalah Analis Berita di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Cilacap
Referensi:
Hamzah, Andi & A. Sumangelipu. 2005. Pidana Mati Di Indonesia, Dimasa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan. Jakarta: Ghalia.
Mancini, Christina & Daniel P. Mears. 2019. To Execute or Not to Execute? Examining Public Support for Capital Punishment of Sex Offenders. Jornal of Criminal Justice. 38 (5): 959-968.
Mears, D. P., Mancini C. Gertz & Bratton J. 2008. Sex Crimes, Children, and Pornography: Public Views and Public Policy. Crime and Delinquency Journal. 54: 532-559.
Siswanto, Arie. 2009. “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Internasional” disampaikan dalam Seminar Nasional “Legalisasi Pidana Mati Dan Tuntutan Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia: Peranan MK”.
Snell, T. L. 2005. Capital Punishment. Washington D.C. Department of Justice.