Akhir-akhir ini, kita kembali dikejutkan dengan sederet berita memprihatinkan tentang kekerasan seksual pada anak. Meskipun memilukan hati, namun keberanian korban ataupun keluarganya untuk speak up patut dihargai. Hal ini karena kebanyakan korban kekerasan seksual justru lebih memilih bungkam dan menutup rapat-rapat mengikuti stigma masyarakat yang menganggapnya sebagai aib. Terlebih kekhawatiran orang tua terhadap masa depan anaknya yang setidaknya sudah ternodai oleh perilaku bejat para pelaku kekerasan seksual.
Semakin bungkamnya korban dan keluarganya justru semakin membiarkan pelaku memangsa korbannya lebih banyak lagi. Kebanyakan kasus pedofilia tidak terjadi pada satu atau dua anak saja tetapi bahkan jauh lebih banyak. Baik siapapun pelakunya terlepas dari latar belakangnya, kebanyakan anak dibawah umur masih menjadi incaran sebagai sasaran kekerasan seksual. Betapa buruknya hal ini karena anak-anak merupakan generasi penerus bangsa, jika mental dan kepribadiannya tercederai oleh kepuasan nafsu semata.
Berita Kekerasan Seksual Menutup dan Membuka Tahun
Akhir tahun 2021 kemarin, masyarakat Cilacap dikejutkan dengan pemberitaan tindak pedofilia oleh oknum guru agama terhadap 15 siswinya yang masih dibawah umur. Kemudian, membuka tahun 2022, pelecehan seksual dengan pengancaman menyebarkan video mesum terjadi dengan tersangka laki-laki berusia 20 tahun terhadap perempuan berusia 12 tahun yang termasuk kategori masih dibawah umur.
Korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual untuk kemudian direkam oleh pelaku sebagai pasangan kekasih yang baru berpacaran selama 2 minggu. Hasil rekaman hubungan seksual tersebut menjadi senjata bagi pelaku untuk meminta korban kembali melakukan hal serupa dan tidak memutuskan hubungan dengannya. Ketika korban menolak maka pelaku mengancam menyebarkan video mesum keduanya, padahal pelaku sendiri sudah menyebarkan melalui pesan whats app.
Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual Pada Anak
Sebelum membahasnya lebih lanjut, Fuadi (2011) menyebutkan dalam penelitiannya menyebutkan setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan seksual yang dialami subyek, diantaranya kelalaian orang tua, rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku, serta ekonomi.
Faktor Kelalaian Orang Tua
Kelalaian orang tua yang dimaksudkan adalah tidak atau kurang memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual. Anak-anak seiring dengan berjalannya waktu mulai memahami dunia sekitar sebagai pergeseran fase menuju remaja dimana tingkat perkembangnnya masih harus dalam pendampingan orang tua.
Menurut Rita Pranawati, Sekretaris KPAI (dalam Handayani, 2017) menyatakan bahwa orang tua memiliki kecenderungan mendidik dengan hanya berorientasi pada Pendidikan akademik. BUkan Pendidikan mental dan persoalan sosial yang dihadapi anak. Sebanyak 60% orang tua di Indonesia hanya menanyakan pendidikan akademik seperti nilai dan peringkat kelas. Sementara 30% menanyakan kondisi sosial anak seperti hobi, pemasalahan dengan teman, status media sosial, bahkan persoalan reproduksi.
Namun hal itu masih dikatakan sangat sedikit adanya keterbukaan perosialan seksualitas, bahkan beberapa dari anak korban kekerasan seksual masih tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban. Bahkan korban cenderung untuk menyembunyikan apa yang telah dialaminya sebagai konsekuensi sosial yang mungkin akan dihadapinya, bahkan takut terhadap orang tuanya.
Faktor Rendahnya Moralitas dan Mentalitas Pelaku
Adanya moralitas dan mentalitas yang tidak tumbuh dengan baik, mengakibatkan pelaku tidak dapat melakukan kontrol terhadap nafsu dan perilakunya. Bentuk kejahatan seksual dilihat dari segi pelaku bukan saja melanggar secara hukum, tetapi juga tatanan moral yang harus dipertanggungjawabkan sebab semua manusia hidup di dunia dibekali oleh akal budi. Tumpulnya nurani pelaku menyebabkan manusia menjadi tidak peka terhadap adanya nilai-nilai kebenaran yang memutuskan kesetiaannya terhadap nurani.
Pergeseran nilai-nilai moral mungkin terlintas terjadi karena perkembangan jaman yang semakin maju sehingga merubah tatanan moral masyarakat. Namun tidaklah demikian patut disalahkan, karena manusia sendiri yang tidak mampu menghormati nilai-nilai moral tersebut. Kemajuan jaman justru semakin menumpulkan dan mendangkalkan nilai-nilai yang sudah dibangun sehingga sulit untuk menghayati kehidupan sesama. Terlebih dalam agama Islam sendiri, seorang pria diajarkan untuk mampu menundukkan kepalanya ketika melihat seorang wanita. Kekerasan seksual juga sangat mungkin terjadi karena kurangnya kontrol diri akibat krisis moral dan mental.
Faktor Ekonomi
Keadaan ekonomi dapat memunculkan pemikiran pada pelaku kekerasan seksual untuk lebih mudah dalam memuluskan rencananya dengan memberikan iming-iming pada target korbannya. Terlebih dalam hal ini, anak dibawah umur dikatakan masih lebih mudah untuk diberikan iming-iming tanpa terlalu berpikir panjang terhadap dampaknya.
Mengingat dampaknya yang sangat besar bagi keberlangsungan generasi penerus bangsa, proteksi terhadap adanya kekerasan seksual harus datang dari semua elemen masyarakat. Meskipun ada aturan hukum yang menaungi, tetapi hal ini tidak menjadi jaminan bahwa tindak kejahatan terhenti. Sebab dampak yang ditimbulkan dari pelecehan seksual terhadap anak tidaklah bisa dianggap remeh. Selain menyerang kondisi perubahan fisiknya, dampak juga sangat berpengaruh pada kondisi mental dan terhambatnya perkembangan anak. Kondisi mental seperti depresi dan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Masyarakat juga perlu menghilangkan stigma-stigma negatif terhadap korban sehingga tidak memiliki kecenderungan untuk menutup diri dan malu untuk melaporkan *
*Cahyaningtias Purwa Andari, Analis Berita
Sumber Tautan Berita
Fuadi, M. Anwar. 2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam (JPI). 8: 2. 192-208.
Handayani, Meni. 2017. Pencegahan Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Melalui Komunikasi Antarpribadi Orang Tua dan Anak. Jurnal Ilmiah VISI PGTK PAUD dan DIKMAS. 12: 1. 67-80.